Siapa yang bodoh?
Oleh: Yusuf
al-hamdani
Jangan menganggap bodoh orang yang belum tentu
bodoh
Siapa tahu, kamu sendiri yang bodoh
Atau bahkan, lebih bodoh
Dari orang yang kamu anggap bodoh
Berawal dari cerita tentang
pengalaman saya, waktu itu saya disuruh orang tua untuk menjaga warung. Dan
kebetulan, dalam soal hitung-menghitung kemampuan saya memang agak lemah.
Mangkannya tak jarang orang di kampong saya sering merendahkan saya karena
kemampuan matematika saya yang lemah ini. Padahal, saya ini seroang mahasiswa.
Dan tentunya, orang-orang tidak mau tahu tentang apa jurusan saya. Yang mereka
tahu, yang namanya mahasiswa itu pasti bisa dalam segala hal. Namun, pada
kenyataan nya, tak ada manusia yang sesempurna itu.
Tentu saja akan sangat berbahaya,
jika dalam urusan perdagangan namun sang penjualnya itu tidak bisa menghitung.
Bukannya untung, tapi malah rugi besar dagangannya. Tak jarang juga, nantinya
kesempatan ini akan di manfaatkan oleh para pembeli. Saya sendiri dalam hal
hitung-menghitung, kalau di katakan gak bisa ya gak mungkinlah. Saya juga
belajar matematika dari SD sampai SMA. Tapi semenjak lulus dari SMA kemampuan
saya dalam menghitung jarang dilatih lagi, sehingga berkurang lah kemampuan
saya. Tak jarang saya sering melakukan kesalahan ketika ada yang belanja ke
warung saya. Apalagi, ketika saya menjaga warung sambil baca buku, tentu hal
ini paling riskan untuk saya melakukan kesalahan ketika menghitung belanjaan
ketika ada pembeli yang berbelanja, disebabkan karena tidak konsenrasi.
Tapi ketika saya salah menjumlah,
beberapa saat kemudian ketika sang pembeli sudah meninggalkan warung saya, saya
akan tersadar kalau hitungan saya tadi salah. Dan saya yakin saya memang salah,
namun saya tetap membiarkan nya. Tidak terbesit sedikit pun dalam benak saya
untuk mengambil nya kembali. Karena bagi saya hal itu tentu akan lebih
merendahkan saya nantinya. Maka, saya membiarkan saja pembeli itu membawa
kembalian lebih. Toh, sekaligus menguji kejujuran nya. Sebatas mana
kejujurannya, jika dia tahu bahwa uang itu lebih namun tetap tidak dikembalikan
ya berarti disitulah saya akan tahu bahwa dia itu tidak jujur. Namun jika dia
tidak tahu, ah saya gak yakin kalau dia tidak tahu. Karena betapapun orang itu,
baik lulusan SD maupun tidak sekolah sama sekali, kalau di hadapkan dengan
urusan hitung-menghitung duit pasti jago.
Kesalahan saya tersebut dalam
soal hitung-menghitung tentu akan semakin merendahkan diri saya. Tapi biarlah,
uang yang lebih itu mungkin memang rezekinya. Dan untuk apa saya ambil lagi, toh
kalaupun di ambil, pembeli tadi belum tentu ngaku. Atau kalaupun ngaku, pasti
dia pura-pura gak tahu. Kejadian tersebut sekaligus menguji seberapa tingkat
kejujuran mereka. jika saya benar-benar yakin kalau kembalian saya pada si A
salah, otomatis saya akan tahu bahwa si A itu tidak jujur. Dia memanfaatkan
situasi yang ada untuk mencari keuntungan. Meskipun dalam hal ini saya sudah
mengikhlaskan nya. Tentu saja si A tetap akan berdosa karena ketidak jujurannya
tadi.
Nah, kalau sudah seperti ini,
siapa yang bodoh? Tentu saja pembaca bisa menilai sendiri. Dalam kejadian ini
bukan berarti saya bodoh dalam soal hitung-menghitung. Namun itu hanya
keteledoran saya, pikiran saya terlalu focus pada buku yang sedang saya baca.
Biarlah penilaian mereka apa dan bagaimana terhadap saya. Yang jelas kita
memang harus cerdas dalam situasi apapun. Orang yang kita anggap bodoh belum
tentu dia bodoh. Bisa jadi, dia hanya sedang menguji seberapa tingkat kejujuran
mu ketika kamu dihadapkan pada situasi seperti itu.
Dalam kitab Mantsur al-hikam, Ibn
al-mu’taz mengatakan, “Orang berilmu mengenali orang bodoh karena kebodohannya,
dan orang bodoh tidak mengetahui orang berilmu karena ia memang tidak punya
ilmu. Dan hal itu memang benar adanya. Karenanya, mereka berpaling dari ilmu
dan orang-orang berilmu, sama seperti orang zuhud berpaling dari dunia dan para
pembangkang berpaling dari kebenaran. Sebab, jika seseorang tidak mengetahui
sesuatu, maka ia akan memusuhinya.”
Terkait dengan masalah untung
rugi, biarlah saya serahkan kepada Allah. Biar Allah yang menggantinya. Mungkin
itu rezekinya si pembeli tadi, bukan rezeki saya. Atau bisa jadi Allah ingin
mengatakan, “Tuh, orang ini wataknya kaya gini. Kamu harus tahu itu. mangkannya
kamu harus hati-hati sama dia, kelihatannya emang baik, tapi tanpa kamu sadari
dia juga bisa berbuat jelek ketika ada kesempatan.”
Kalau gitu terus, bakal rugi
besar dong?
Ya gak harus gitu mulu kali,
kesalahan yang telah lalu dijadikan pelajaran untuk nanti kedepannya jangan
sampai kita melakukan hal yang sama. Jika kita pernah melakukan kesalahan dalam
hitungan jual beli pada si A dan sudah tahu sifat si A yang sebenarnya. Maka,
tidak perlu harus kita ulangi lagi. dan lagian kesalahan dalam menghitung tadi
kan itu karena faktor ketidak sengajaan.
Alhamdulillah selama ini
kesalahan saya dalam soal hitung menghitung Cuma salah sekali pada satu orang
saja. maksudnya, ketika si A berbelanja, pasti saya pernah melakukan kesalahan
menghitung atas belanjaan nya. Kemudian si B juga berbelanja, saya pun pernah
melakukan kesalahan menghitung juga. Dan ini terjadi hanya sekali saja pada
satu orang. Namun parahnya, mereka tidak pernah mau jujur. Mungkin pembaca ada
yang berkomentar, mungkin saja pembeli tadi emang tidak tahu. Tapi saya tidak
berpendapat begitu. Karena setiap kali ada orang yang belanja ke warung saya
pasti sebelumnya pernah di hitung-hitung dulu oleh pembeli tadi. Dan lagipula,
seperti yang sudah saya katakan tadi, kalau sekarang tuh gak mungkin ada orang
yang gak bisa menghitung duit, kecuali orang itu sudah tua dan pikun.
Ada juga pembeli yang jujur.
Pernah waktu itu saya melayaninya. Namun lagi-lagi saya salah menghitung, tapi
dia bilang, ‘salah nih, huh gimana sih mahasiswa, masa ngitung aja gak bisa’.
Jleb.. luar biasa sakitnya di katain kaya gitu. Tapi saya sabar aja, mereka tuh
taunya mahasiswa itu pandai dalam segala hal padahal sebenarnya tidak seperti
itu. karena kita di perguruan tinggi, ilmu yang kita fokuskan untuk di perdalam
itu bukan semua bidang ilmu tapi satu bidang ilmu saja yang kita ambil yang
biasa disebut sebagai jurusan. Dalam soal hitung-menghitung juga itu adalah
ilmu dasar yang wajib di kuasai oleh setiap individu. Dan seperti yang sudah
saya katakan di atas. Saya salah bukan berarti saya tidak bisa menghitung.
Karena memang ada beberapa faktor. Mungkin karena saya kurang konsentrasi,
karena terlalu focus sama buku yang saya baca. Dan bisa juga teledor, atau
kurang hati-hati. Dan hal ini bukan berarti saya bodoh. Hati-hati dengan
setempel bodoh terhadap seseorang. Bisa saja ketika menganggap orang itu bodoh
padahal belum tentu dia bodoh. Bisa jadi dia hanya sedang menguji kejujuran
kita.
Seperti yang telah saya tulis
dalam artikel saya beberapa bulan yang lalu tentang ‘smart limited’. Mungkin
pembaca ada yang pernah membacanya. Terkadang orang itu hanya mampu melihat
seseorang dari satu sisi saja tidak dengan melihat sisi yang lain. Mereka tidak
pernah berfikir “ah mungkin dia begini karena begini, atau dia begitu karena
begitu”. Jarang sekali orang yang berfikir seperti itu. yang selalu di
kedepankan itu selalu pandangan negative. Coba kalau semua orang selalu
berfikir positif dan selalu melihat dari dua sisi. Tentu tidak akan ada
manusia-manusia yang memiiliki perangai jelek dan selalu berprasangka buruk
pada orang lain.
Akhir kata, semoga tulisan ini
bisa mengingatkan kita untuk selalu tidak memandang rendah orang lain. Apalagi
seorang penuntut ilmu, karena bagaimanapun juga betapapun banyaknya kita
melihat kekurangan yang ada pada dirinya, ketahuilah bahwa dibalik itu semua
ada kelebihan nya yang tersembunyi yang tanpa kita sadari bahkan bisa jadi jauh
dibanding kita.
Tulisan ini bukan untuk menggurui
tapi hanya sekedar nasehat untuk kita semua. agar kita tidak terjebak dengan
kondisi-kondisi yang justru nantinya malah akan membuka aib kita sendiri akibat
perbuatan kita yang terlalu sering menganggap rendah orang lain.
Catatan Remaja Muslim
Jum’at, 30 Oktober 2015