Bagaimana pun baiknya kita berlaku baik, memang akan ada orang yang merasa bahwa kita tidak cukup baik baginya

Minggu, 18 Oktober 2015

“Sukses Tak berbekal Takwa”

“Sukses Tak berbekal Takwa”
Oleh: Yusuf al-hamdani


Bismillahirohmanirrohim..
Semua orang yang hidup didunia ini pastinya menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Terlepas dari bagaimana memperolehnya, tidak peduli, yang penting hidup bahagia dan apa yang menjadi keinginan bisa menjadi kenyataan.

Bahagia adalah satu hal yang didapatkan ketika kesuksesan telah tercapai. Sukses sifatnya umum, bisa mencapai tujuan dengan selamat itu juga termasuk sukses. Atau bisa juga ketika kita mendapatkan apa yang tengah kita impi-impikan selama ini atau juga berhasil meraih prestasi akademik dan sebagainya itu juga termasuk kategori sukses.

Hidup sejahtera, apalagi bisa mensejahterakan orang-orang di sekeliling kita adalah sukses yang luar biasa. Siapa yang bisa sepeti ini? Tentu jarang sekali, banyak kita temukan orang-orang yang sudah hidup sejahtera namun belum bisa mensejahterakan orang lain padahal dirinya mampu untuk berbuat demikian. Jangankan untuk mensejahterakan orang lain, keluarganya pun bahkan orang tua nya masih belum sejahtera. Egoiskah orang seperti ini? Tentu saja iya. Buat apa hidup bahagia sejahtera namun hanya dinikmati sendiri saja. sedangkan orang disekitarnya masih sengsara. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi sesamanya.

Saya punya cerita, ini hanya sekedar ilustrasi saja dan karangan saya semata, namun insya Allah cerita ini pernah terjadi disekitar kita. entah siapa pelakunya yang jelas bukan itu yang kita permasalahkan tapi bagaimana kita dapat mengambil pelajaran daripada cerita berikut ini.

Sebutlah namanya Herman, dia ini remaja yang baru berumur 16 Tahun. Tinggal di sebuah kampong yang hampir penduduknya orang-orang mampu. Namun lain hal nya dengan dia, terlahir dari keluarga miskin membuat dia selalu terkucilkan dan termajinalkan. Disaat teman-teman seusianya sekolah, dia hanya bisa meratapi nasibnya. Dia bisa apa, jangan kan sekolah untuk makan sehari-hari saja masih susah payah.

Suatu hari dia di ajak oleh kedua temannya untuk ikut pergi ke kota. Dengan harapan disana dia bisa merubah nasibnya. Namun sayangnya, dia tidak memiliki bekal untuk pergi ke sana. Kabar ini sampailah kepada orang tuanya. Karena kasihan melihat anak lelaki satu-satunya ini maka orang tuanya berusaha untuk mencarikan dia modal untuk bekal anaknya. Teringat dia punya 6 ekor ayam dibelakang rumahnya, dan akhirnya dijualah 6 ekor ayam tersebut oleh orang tuanya untuk bekal anak nya itu.

Berangkatlah herman dengan kedua temannya. sesampainya di kota. Ada pabrik yang membutuh kan karyawan. Datanglah mereka bertiga untuk melamar, namun hanya herman yang tidak diterima, karena dia tidak memiliki ijazah. Sementara kedua temannya sama-sama lulusan SMA sedangkan dia hanya lulusan sekolah dasar (SD).

Dan berpisahlah herman dengan kedua temannya ini. Mungkin memang sudah nasib nya seperti itu dia pun menyadari hal itu. seharian dia menyusuri jalanan untuk mencari sebuah pekerjaan namun tak kunjung ia dapatkan. Namun di sebuah persimpangan ia melihat seorang yang minta-minta. Ia terus memperhatikan si peminta-minta itu. sampai akhirnya terbesitlah dalam benaknya untuk melakukan hal yang sama.

Sehari, dua hari. seminggu dua minggu ia tekun menjalani profesinya sebagai peminta-minta (pengemis). Ia bangga dengan profesi nya itu, selain tidak ada yang mengenalinya, dia juga bisa mendapatkan uang banyak dalam seharinya.

Empat tahun berlalu, kedua temannya sudah tiga kali pulang ke kampung. Namun herman belum sekalipun pulang. Bahkan memberi kabar pun tak pernah sama sekali. maka gegerlah orang sekampung terutama orang tuanya. Mereka khawatir dimana herman berada. Empat tahun tak ada kabar sama sekali. orang tua mana yang tidak cemas dan gelisah menghadapi situasi seperti ini.

Kini sudah enam tahun berlalu, orang tuanya sudah sering bertanya pada dukun. Namun jawaban dukun, herman sudah tenang disana. Apa maksud dari perkataan dukun itu. mungkinkah herman sudah meninggal dunia. Jawaban dukun tadi membuat orang tuanya semakin shock.

Ternyata di kota sana, herman sudah mendapatkan kehidupan yang lebih baik. bisnisnya semakin sukses dan kini dia sudah mapan. Namun meskipun begitu dia malah sibuk dengan bisnisnya dan lupa dengan kedua orang tuanya yang selama enam tahun ini mengkhawatirkannya dan selalu menunggu kabar darinya.

Usut punya usut, bisnis yang tengah dijalani herman ini adalah bisnis yang tidak baik. Ternyata dia menjadi bandar pengemis, dia menyuruh anak-anak kecil untuk mengemis, sementara dia enak-enakan di rumah mewah nya. Setiap tengah hari dan sore dia menagih hasil anak-anak yang mengemis itu. sungguh keterlaluan apa yang dilakukan herman. Tidak aneh jika dia mendadak kaya seperti itu. Dan orang tuanya kini telah mengikhlaskan kepergiannya. Mereka mengira, herman sudah meninggal.

Oke, sampai disini dulu ceritanya. Lain waktu kita akan lanjut lagi. tidak penting masalah cerita nya yang terpenting adalah pelajaran yang bisa kita petik dari cerita herman tadi. Seperti judul yang saya tulis di atas ‘sukses tak berbekal takwa’. Maka beginilah akhirnya. Kesuskesan yang di raihnya bukan lah dari jalan yang halal justru dari jalan yang haram. Padahal kita hidup didunia ini jika hanya untuk mengejar kebahagiaan tidak perlu hidup kaya raya dengan harta melimpah. Buktinya sering kita temukan banyak orang-orang kaya hidupnya masih menderita. Ada yang tidak di karunia anak, ada yang dijebloskan ke penjara, ada yang sakit-sakitan dan semacamnya. Apakah mereka bahagia, tentu tidak. Alangkah baiknya jika kekayaan itu di barengi juga dengan takwa. Insya Allah hidup akan berkah dan bahagia. Bahkan orang miskin pun bisa bahagia selama dia bertakwa. Kenapa, karena mereka selalu mensyukuri apa yang mereka miliki.

Kisah herman tadi telah menggambarkan bagaimana hidup yang tanpa dibekali takwa. Dia selalu iri melihat teman-teman seusianya yang setiap pagi selalu pergi ke sekolah sementara dirinya jangan kan untuk sekolah untuk makanan sehari-hari saja dia masih kesusahan. Padahal tujuan sekolah adalah untuk mencari ilmu, dan menghilangkan kebodohan yang ada dalam diri. Lantas kenapa begitu ngotot ingin sekolah. Jika memang tujuannya untuk mencari ilmu tanpa sekolah pun bisa. Bisa pergi ke pengajian-pengajian yang di adakan setiap akhir pekan, itu gratis. Atau bisa juga menuntut ilmu di pesantren, karena disana juga kita mendapatkan ilmu secara gratis tanpa di pungut biaya asalkan kita mau mematuhi segala aturan yang ada di pesantren itu. lantas apa bedanya pesantren dengan sekolah?.



18 Oktober 2015

Catatan Remaja Muslim
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar