Cerita Perjalanan Cinta (Part 2)
Karya: Yusuf Khaerul Ikhwan
Hari ini
cuaca terasa begitu panas, lebih panas dari hari-hari sebelumnya. Mungkin aku
harus menghentikan perjalananku dan berhenti sebentar untuk berisitirahat.
Tepat dihalaman masjid aku memakirkan motorku, lalu bergegas masuk kedalam
untuk berteduh, dari layar hp ku jam menunjukan pukul 10:00, masih lama untuk
memasuki waktu dzuhur.
Sudah hal
yang biasa bagiku beristirahat di masjid ini, jika pulang kuliah dalam cuaca
yang sangat panas seperti ini aku selalu berhenti untuk berisitirahat hingga
ba’da dzuhur. Kadang juga bisa sampai waktu ashar aku berada disini.
Aku teringat
teman lamaku yang dulu bertemu disini, dia berjanji akan menceritakan
perjalanan cintanya itu yang dulu sempat terpotong. Aku berharap bisa bertemu
dia lagi disini, karena dia juga pernah bilang bahwa dia bekerja dekat di
sekitar masjid ini.
Adzan
berkumandang, seketika aku terbangun dalam tidurku, ternyata aku telah tertidur
dengan pulasnya, tanpa ku sadari sudah memasuki waktu dzuhur. Para jama’ah
masjid pun mulai berdatangan, begitu antusias nya mereka untuk mendekatkan diri
kepada sang khaliq. Aku pun bergegas untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan
shalat dzuhur berjama’ah.
Usai shalat
seperti biasa aku tidak langsung pulang, aku sempatkan untuk tilawah qur’an
dulu, agar hati menjadi tenang dari segala permasalahan-permasalahan duniawi.
Aku baca surat ar-rahman dengan penuh penghayatan. Didalamnya terdapat ayat
yang terus di ulang-ulang “fabi ayyi ‘ala irobikuma tukajiban” (maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”. Begitu indahnya ayat-ayat Allah ini,
Secara tidak langsung Allah menyuruh hambanya untuk selalu berysukur atas
nikmat yang telah Allah kasih, walau sekecil apapun itu.
“assalamu’alaikum”
ucap suara dari belakangku, suara yang aku rasa aku mengenalnya. Yupss suara
itu adalah suara teman lamaku yang aku tunggu-tunggu, akhirnya kami bertemu
kembali ditempat yang sama. Seketika aku menoleh kebelakang sambil menutup qur’anku. “wa’alaikum salam” jawabku dengan
semangat. Akhirnya aku bisa bertemu temanku lagi.
“gimana
kabarnya rul”.
“Alhamdulillah
sehat, kalau antum sendiri gimana?”
“Alhamdulillah
ana juga sehat”
“oya ana mau
nagih janji antum niih?”
“hmmm, janji
yang mana ya?”
“itu, cerita
tentang perjalanan cinta antum yang dulu cerita ke ana”
“ooohhh itu,
ternyata antum penasaran rul, baiklah ana akan coba lanjutkan ceritanya ya,
semoga aja bisa dijadikan pelajaran juga”.
sssssssssssssssssssssssss
Seperti yang
telah aku ceritakan dahulu, aku di undang untuk main kerumahnya. Tanpa pikir
panjang aku pun mengiyakannya. Ya sekalian menjalin silaturahmi.
Singkat cerita,
aku tiba dirumahnya, aku ditemani oleh ayahnya di ruang tamu, kami berdua
mengobrol cukup santai, sementara Zahra membantu ibunya membuat minuman di
dapur. Tak lama ibunya datang membawa minuman menghampiri kami dan Zahra di
belakangnya membawa makanan ringan. “Oh jadi ini yang mau melamar anak saya,
sok atuh di minum dulu air nya” ucapnya dengan logat sunda, sementara Zahra
hanya tersenyum saja sambil menaruh makanan di meja.
Aku
mendengar ucapan ibunya itu hanya bisa senyum-seyum saja, malah jadi salah
tingkah, padahal niatku datang kesini hanya sekedar silaturahmi saja, tapi
kenapa orang tuanya bisa-bisanya bicara seperti itu.
“lho ko bengong, hayu di minum dulu minumannya” perintah ayahnya
Zahra. “eh iya pak, makasih” jawabku gugup.
Aku dan ayahnya mengobrol cukup lama dan tak terasa malam pun
sudah semakin larut, aku bergegas untuk pulang, aku masih ingat kalimat
terakhir dari ayahnya sebelum aku beranjak pergi, dia bilang “kalian ta’arufan aja dulu, nanti jika memang sudah
sama-sama cocok langsung persiapkan untuk ke jenjang pernikahan” dan lagi aku jadi
salah tingkah. “hmmm jadi salah persepsi gini” kataku dalam hati. Tapi gak
apa-apalah emang tujuanku datang kesini salah satunya ya itu ingin mendapatkan
Zahra.
Hanya butuh waktu satu minggu bagi kami berdua untuk saling
mengenal atau istilahnya ta’aruf, dan setelah itu kami langsung menikah, karena
aku pikir pacaran setelah menikah itu lebih indah, ketimbang pacaran sebelum
menikah. Pacaran setelah menikah itu, mau pegangan tangan, ciuman, atau saling
memandangpun bisa mendapatkan pahala.
Pernah satu pagi di hari pertama setelah pernikahan kami, isteriku
bingung untuk membuatkan sarapan pagi untukku. Dia tidak tahu aku sarapan
biasanya minum apa, minum kopi, minum teh atau minum susu. Aku lihat dia nampak
kebingungan di balik pintu dapur, kadang keluar kadang masuk lagi ke dapur,
mungkin dia hendak bertanya padaku namun malu.
“mas ini aku bikinin kopi buat kamu” ucapnya sambil menyodorkan
secangkir kopi yang ada di nampan.
“hmmm, ko kopi siiih, tapi sayang aku itu gk sukaa minum kopi”
kataku santai.
“ma’af mas habisnya aku gak tau,… ya udah aku ganti deh” jawabnya
datar, mungkin dia merasa tidak enak padaku.
“eh gk usah diganti sayang,.. maksud aku gk suka minum kopi kalau
gak di temenin sama kamu” kataku sambil mencubit pipinya. Dia tersenyum malu.
Hari demi hari berganti, banyak hal-hal baru yang aku temukan dari
dirinya. Ternyata dia sangat suka melantunkan surat ar-rahman setiap ba’da
shalat maghrib. Katanya, untuk mengingatkan agar dia harus senantiasa bersyukur
kepada Allah atas apa yang telah Allah kasih kepadanya. Terkadang jika aku
tidak sibuk, kami tilawah qur’an bersama-sama.
Sssssssssss
Begitulah cerita dari teman lamaku, yang namanya Irwan, aku baru
tahu namanya pas ada orang yang memanggilnya, aku rasa dia adalah teman
sekantornya. “hehe ma’afkan aku ya kawan kalau aku baru tahu namamu lagi,
maklum kita gak bertemu cukup lama sekali” kataku dalam hati.
~Selesai~